Selasa, 12 Maret 2013

Asal Mula (Kab.) Kuningan

Diposting oleh Unknown di 17.34 0 komentar

Cerita dari Jawa Barat
Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang.
Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).
Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.
Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia, sekarang termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.
Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.
Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.
Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.
Masa Keadipatian
Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.
Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).
Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.
Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).
Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.
Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).
Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.
Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.***

Buaya Perompak

Diposting oleh Unknown di 17.30 0 komentar

Cerita dari Lampung
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya Perompak berikut ini!
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang
siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang

Cindelaras

Diposting oleh Unknown di 17.29 0 komentar

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Asal Usul Sawah Lunto

Diposting oleh Unknown di 17.20 0 komentar

Asal Usul Sawah Lunto

Cerita dari Sumatera Barat
Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.
Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.
Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.
Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.
Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.
Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.
Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.
Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang LUNTO. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.
Disisi lain kaum keturunan Sitambago masih ada sampai sekarang disekitar daerah Pamuatan dan Santur.
Diposting oleh Unknown di 07.39 0 komentar

Tukang Sepatu dan Liliput

Dahulu kala, disebuah kota tinggal seorang Kakek dan Nenek pembuat sepatu. Mereka sangat baik hati. Si kakek yang membuat sepatu sedangkan nenek yang menjualnya. Uang yang didapat dari setiap sepatu yang terjual selalu dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan dan disantap oleh orang-orang jompo yang miskin dan anak kecil yang sudah tidak mempunyai orangtua. Karena itu walau sudah membanting tulang, uang mereka selalu habis. Karena uang mereka sudah habis, dengan kulit bahan sepatu yang tersisa, kakek membuat sepatu berwarna merah. Kakek berkata kepada nenek, “Kalau sepatu ini terjual, kita bisa membeli makanan untuk Hari Raya nanti.

Tak lama setelah itu, lewatlah seorang gadis kecil yang tak bersepatu di depan toko mereka. “Kasihan sekali gadis itu ! Ditengah cuaca dingin seperti ini tidak bersepatu”. Akhirnya mereka memberikan sepatu berwarna merah tersebut kepada gadis kecil itu.

“Apa boleh buat, Tuhan pasti akan menolong kita”, kata si kakek. Malam tiba, merekapun tertidur dengan nyenyaknya. Saat itu terjadi kejadian aneh. Dari hutan muncul kurcaci-kurcaci mengangkut kulit sepatu, membawanya ke rumah si kakek kemudian membuatnya menjadi sepasang sepatu yang sangat bagus. Ketika sudah selesai mereka kembali ke hutan.

Keesokan paginya kakek sangat terkejut melihat ada sepasang sepatu yang sangat hebat. Sepatu itu terjual dengan harga mahal. Dengan hasil penjualan sepatu itu mereka menyiapkan makanan dan banyak hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak kecil pada Hari Raya. “Ini semua rahmat dari Yang Maha Kuasa”.

Malam berikutnya, terdengar suara-suara diruang kerja kakek. Kakek dan nenek lalu mengintip, dan melihat para kurcaci yang tidak mengenakan pakaian sedang membuat sepatu. “Wow”, pekik si kakek. “Ternyata yang membuatkan sepatu untuk kita adalah para kurcaci itu”. “Mereka pasti kedinginan karena tidak mengenakan pakaian”, lanjut si nenek. “Aku akan membuatkan pakaian untuk mereka sebagai tanda terima kasih”. Kemudian nenek memotongh kain, dan membuatkan baju untuk para kurcaci itu. Sedangkan kakek tidak tinggal diam. Ia pun membuatkan sepatu-sepatu mungil untup para kurcaci. Setelah selesai mereka menjajarkan sepatu dan aju para kurcaci di ruang kerjanya. Mereka juga menata meja makan, menyiapkan makanan dan kue yang lezat di atas meja.
Saat tengah malam, para kurcaci berdatangan. Betapa terkejutnya mereka melihat begitu banyaknya makanan dan hadiah di ruang kerja kakek. “Wow, pakaian yang indah !”. Merek segera mengenakan pakaian dan sepatu yang sengaja telah disiapkan kakek dan nenek. Setelah selesai menyantap makanan, mereka menari-nari dengan riang gembira. Hari-hari berikutnya para kurcaci tidak pernah dating kembali.

Tetapi sejak saat itu, sepatu-sepatu yang dibuat Kakek selalu laris terjual. Sehingga walaupun mereka selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan anak yatim piatu, uang mereka masih tersisa untuk ditabung. Setelah kejadian itu semua, Kakek dan dan nenek hidup bahagia sampai akhir hayat mereka.
Diposting oleh Unknown di 07.32 0 komentar

Balas Budi Burung Bangau

Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. "Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku. "Nona mau pergi kemana sebenarnya ?", Tanya Yosaku. "Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat." "Bolehkah aku menginap disini malam ini ?". "Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." ,kata Yosaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap". Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak.

Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. "Tinggallah disini sampai salju reda." Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini." Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun.
Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. "Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. "Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.

Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. "Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru.
Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. "Akhirnya kau melihatnya juga", ujar Otsuru.

"Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu", lanjut Otsuru. "Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.
Diposting oleh Unknown di 07.26 0 komentar

Telaga Bidadari

Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang Sukma.

Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu," gumam Datu Awang Sukma.

Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma.

Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.

Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam. "Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.

Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini saatnya aku harus kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik," kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa. "Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu.

Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa malapetaka.

Pesan moral : Jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik dan halal. Kita tidak boleh mencuri atau mengambil barang/harta milik orang lain karena suatu saat kita akan mendapatkan hukuman.

Selasa, 12 Maret 2013

Asal Mula (Kab.) Kuningan

Diposting oleh Unknown di 17.34 0 komentar

Cerita dari Jawa Barat
Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang.
Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).
Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.
Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia, sekarang termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.
Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.
Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.
Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.
Masa Keadipatian
Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.
Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).
Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.
Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).
Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.
Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).
Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.
Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.***

Buaya Perompak

Diposting oleh Unknown di 17.30 0 komentar

Cerita dari Lampung
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya Perompak berikut ini!
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang
siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang

Cindelaras

Diposting oleh Unknown di 17.29 0 komentar

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Asal Usul Sawah Lunto

Diposting oleh Unknown di 17.20 0 komentar

Asal Usul Sawah Lunto

Cerita dari Sumatera Barat
Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.
Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.
Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.
Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.
Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.
Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.
Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.
Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang LUNTO. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.
Disisi lain kaum keturunan Sitambago masih ada sampai sekarang disekitar daerah Pamuatan dan Santur.
Diposting oleh Unknown di 07.39 0 komentar

Tukang Sepatu dan Liliput

Dahulu kala, disebuah kota tinggal seorang Kakek dan Nenek pembuat sepatu. Mereka sangat baik hati. Si kakek yang membuat sepatu sedangkan nenek yang menjualnya. Uang yang didapat dari setiap sepatu yang terjual selalu dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan dan disantap oleh orang-orang jompo yang miskin dan anak kecil yang sudah tidak mempunyai orangtua. Karena itu walau sudah membanting tulang, uang mereka selalu habis. Karena uang mereka sudah habis, dengan kulit bahan sepatu yang tersisa, kakek membuat sepatu berwarna merah. Kakek berkata kepada nenek, “Kalau sepatu ini terjual, kita bisa membeli makanan untuk Hari Raya nanti.

Tak lama setelah itu, lewatlah seorang gadis kecil yang tak bersepatu di depan toko mereka. “Kasihan sekali gadis itu ! Ditengah cuaca dingin seperti ini tidak bersepatu”. Akhirnya mereka memberikan sepatu berwarna merah tersebut kepada gadis kecil itu.

“Apa boleh buat, Tuhan pasti akan menolong kita”, kata si kakek. Malam tiba, merekapun tertidur dengan nyenyaknya. Saat itu terjadi kejadian aneh. Dari hutan muncul kurcaci-kurcaci mengangkut kulit sepatu, membawanya ke rumah si kakek kemudian membuatnya menjadi sepasang sepatu yang sangat bagus. Ketika sudah selesai mereka kembali ke hutan.

Keesokan paginya kakek sangat terkejut melihat ada sepasang sepatu yang sangat hebat. Sepatu itu terjual dengan harga mahal. Dengan hasil penjualan sepatu itu mereka menyiapkan makanan dan banyak hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak kecil pada Hari Raya. “Ini semua rahmat dari Yang Maha Kuasa”.

Malam berikutnya, terdengar suara-suara diruang kerja kakek. Kakek dan nenek lalu mengintip, dan melihat para kurcaci yang tidak mengenakan pakaian sedang membuat sepatu. “Wow”, pekik si kakek. “Ternyata yang membuatkan sepatu untuk kita adalah para kurcaci itu”. “Mereka pasti kedinginan karena tidak mengenakan pakaian”, lanjut si nenek. “Aku akan membuatkan pakaian untuk mereka sebagai tanda terima kasih”. Kemudian nenek memotongh kain, dan membuatkan baju untuk para kurcaci itu. Sedangkan kakek tidak tinggal diam. Ia pun membuatkan sepatu-sepatu mungil untup para kurcaci. Setelah selesai mereka menjajarkan sepatu dan aju para kurcaci di ruang kerjanya. Mereka juga menata meja makan, menyiapkan makanan dan kue yang lezat di atas meja.
Saat tengah malam, para kurcaci berdatangan. Betapa terkejutnya mereka melihat begitu banyaknya makanan dan hadiah di ruang kerja kakek. “Wow, pakaian yang indah !”. Merek segera mengenakan pakaian dan sepatu yang sengaja telah disiapkan kakek dan nenek. Setelah selesai menyantap makanan, mereka menari-nari dengan riang gembira. Hari-hari berikutnya para kurcaci tidak pernah dating kembali.

Tetapi sejak saat itu, sepatu-sepatu yang dibuat Kakek selalu laris terjual. Sehingga walaupun mereka selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan anak yatim piatu, uang mereka masih tersisa untuk ditabung. Setelah kejadian itu semua, Kakek dan dan nenek hidup bahagia sampai akhir hayat mereka.
Diposting oleh Unknown di 07.32 0 komentar

Balas Budi Burung Bangau

Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. "Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku. "Nona mau pergi kemana sebenarnya ?", Tanya Yosaku. "Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat." "Bolehkah aku menginap disini malam ini ?". "Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." ,kata Yosaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap". Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak.

Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. "Tinggallah disini sampai salju reda." Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini." Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun.
Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. "Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. "Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.

Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. "Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru.
Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. "Akhirnya kau melihatnya juga", ujar Otsuru.

"Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu", lanjut Otsuru. "Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.
Diposting oleh Unknown di 07.26 0 komentar

Telaga Bidadari

Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang Sukma.

Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu," gumam Datu Awang Sukma.

Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma.

Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.

Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam. "Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.

Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini saatnya aku harus kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik," kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa. "Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu.

Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa malapetaka.

Pesan moral : Jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik dan halal. Kita tidak boleh mencuri atau mengambil barang/harta milik orang lain karena suatu saat kita akan mendapatkan hukuman.
 

Dessy Sri Rahayu Arifin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea